Allah SWT berfirman dalam QS Asy-Syura ayat 37-38)
Bagi orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji serta apabila mereka marah mereka memberi maaf; (bagi) orang-orang yang mematuhi seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, lalu urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat di antara mereka, dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka (QS asy-Syura [42]: 37-38)
Penggalan ayat ini: Wa amruhum syûrâ baynahum (sedang urusan mereka [diputuskan] dengan musyawarah antara mereka) sering diambil untuk melegitimasi demokrasi. Syûrâ yang diperintahkan dalam ayat ini disamakan dengan demokrasi. Padahal di antara keduanya terdapat kontradiksi mendasar.
Demokrasi merupakan pandangan hidup dan sistem pemerintahan yang menjadikan rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Prinsip ini meniscayakan, seluruh perundang-undangan harus bersumber dari rakyat. Pelaksana praktisnya adalah parlemen yang dianggap sebagai representasi rakyat.
Konsekuensinya, undang-undang apa pun yang telah dilegislasi oleh parlemen harus diterapkan dan ditaati oleh rakyat; terlepas apakah undang-undang itu sejalan dengan syariah atau tidak. Konsekuensi lainnya, kebebasan harus dijunjung tinggi dalam masyarakat yang menerapkan #demokrasi.
Semua prinsip itu jelas batil dan bertentangan dengan Islam. Dalam Islam, kedaulatan ada di tangan syariah. Ketentuan ini didasarkan pada banyak dalil yang mewajibkan kaum Muslim menerapkan syariah dalam totalitas kehidupan (lihat QS al-Maidah [5]: 48, 49; al-Hasyr [59]: 7); juga celaan dan ancaman kepada setiap orang yang menerapkan hukum selain yang berasal dari-Nya (lihat QS al-Maidah [5]: 44, 45, dan 47)
Setiap permasalahan dan perselisihan yang muncul harus dikembalikan pada syariah (QS an-Nisa’ [4]: 59, 65). Oleh karena itu, kebebasan (freedom) tidak dikenal dalam masyarakat Islam. Sebaliknya, yang ada adalah keterikatan terhadap syariah dalam setiap lini kehidupan (lihat QS an-Nisa [4]: 165)
Selengkapnya baca: http://
0 komentar: